DARI
PANGGUNG DANGDUT KE PANGGUNG POLITIK
Raden Oma Irama yang populer dengan
nama Rhoma Irama lahir di Tasikmalaya, 11 Desember 1946,
Pria ‘ningrat’ ini merupakan putra kedua dari empat belas bersaudara, delapan
laki-laki dan enam perempuan (delapan saudara kandung, empat saudara seibu dan
dua saudara bawaan dari ayah tirinya). Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya,
seorang komandan gerilyawan Garuda Putih, memberinya nama ‘Irama’ karena
bersimpati terhadap grup sandiwara Irama Baru asal Jakarta yang pernah
diundangnya untuk menghibur pasukannya di Tasikmalaya. Sebelum pindah ke
Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan di kota inilah kakaknya, Haji
Benny Muharam dilahirkan.
Bung
Rhoma, begitu panggliau.ilan akrab sapaan hangat para penggemarnya. Siapa yang
tidak mengenal beliau yang satu ini, khususnya rakyat Indonesia yang menggemari
music dangdut. Dari kampung hingga kota
menyukai karya – karya yang lahir dari buah pikiran Bung Rhoma. Musik dangdut
yang dimainkan Bung Rhoma identik dengan music dangdut religi, yang menyuarakan
dakwah – dakwah lewat music. Lirik yang disampaikannya banyak mengangkat tema
social dan kedalaman iman seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Beliau
adalah salah satu central musisi yang mengedepankan nilai dakwah dalam music
nya. Dan citra ini lah yang kemudian timbul dikalangan masyarakat luas bahwa
beliau adalah musisi yang beriman. Namun dibalik citra nya sebagai seorang
musisi sekaligus seorang pendakwah, beliau pun tak luput dari pemberitaan mirin
dan kontroversi yang menimbulkan beragam opini masyarakat. Akan tetapi beliau
tetap konsisten dengan genre music yang digelutinya. Ratusan penghargaan pun
sudah banyak beliau raih, baik penghargaan dari dalam negeri maupun
internasional.
Bagi
sebagian masyarakat, Rhoma Irama adalah sosok figure yang bersahaja dan bijak
melalui dakwahnya. Bahkan karya – karya beliau hingga kini sangat melekat
dikalangan masyarakat luas. Bisa jadi jika dikatakan Rhoma Irama adalah idola dangdut
tanah air bagi mereka yang menggemarinya.
Rhoma
Irama, sebagai legenda hidup dangdut negeri ini sangat banyak memiliki
penggemar. Namun tidak sedikit juga masyarakat yang tidak begitu suka mengenai
sikapnya yang kini terjun dikancah politik Indonesia. Terlebih dengan
pencalonan beliau pada pilpres Indonesia tahun 2014 ini. Menurut sebagian
masyarakat tentang sosok capres yang satu ini, dirasa masih belum cukup mumpuni
untuk memimpin negeri ini. Bagi mereka H. Rhoma Irama adalah “The King of
Dangdut” label yang dirasa sangat pantas baginya ketimbang menjadi orang nomer
satu Indonesia.
Secara
harfiah, sosok H. Rhoma Irama lebih pantas menghibur masyarakat Indonesia yang
cenderung masih dalam lingkar kesulitan dari berbagai sisi, seperti ekonomi,
pendidikan, religi dan lainnya yang termasuk kesulitan social. Namun dalam hal
berpolitik beliau dinilai oleh sebagian masyarakat belum cukup “dewasa” karena
kurangnya pengalaman dalam bidang ini. Namun
optimisme tetap ada dalam pernyataan – pernyataan beliau melalui
berbagai media.
Berangkat
melalui dukungan dari parpol PKB yang menjadi “kendaraan” politik beliau, yang
mana background dari parpol tersebut berbasis parpol islam tentunnya dukungan
positif banyak didapati dari ulama dan para santri dan juga pembesar – pembesar
parpol tersebut yang mayoritas dari kalangan pemuka agama. Dan dalam hal ini,
misi – misi yang diangkat oleh tim sukses maupun parpol PKB sendiri sudah pasti
terselip misi keagamaan yang menjadi sorotan lebih dalam perjalanan politiknya.
Namun
dalam hal ini perlu adanya evaluasi dini, jika H.Rhomo Irama ingin terus
melanjutkan niatannya untuk mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia. Sebab,
factor beragamnya masyarakat Indonesia dari berbagai hal. Semisal, suku, adat
istiadat, agama dan kebiasaan lain yang sudah pasti belum tentu sepaham dengan
agama yang beliau anut yang menjadi misi tersendiri dalam pencapresannya.
Harusnya
beliau juga banyak mengkampanyekan golongan – golongan yang minoritas untuk
dapat meraih simpati lebih dari masyarakat Indonesia secara luas. Bahkan
didalam pernyataan – pernyataan beliau seharusnya juga mengedapankan nilai –
nilai keberagaman tadi, agar beliau juga menerima suara lebih didaerah – daerah
terpencil yang jauh dari perkotaan. Mungkin hal ini adalah salah satu cara
efektif yang bias dimanfaatkan dalam pencalonan beliau.
Karena
biar bagaimana pun juga, Indonesia milik mereka juga yang dalam hal ini adalah
golongan minor di tanah air ini dan begitu pun pemimpinnya juga tentunya akan
memimpin mereka sebagai golongan minor. Kalau H.Rhoma Irama masih terfokus pada
masyarakat perkotaan, tentunyab akan dinilai sebagai kesalahan dalam
berpolitik. Dan dijamin akan berkurangnya suara yang diperoleh dan tidak sesuai
dengan harapan dari beliau sendiri tentunya.
Peningkatan
volume sosialisasi bias dilakukan dengan langsung terjun ke masyarakat dengan
misi – misi social yang lebih umum guna menjadikan Indonesia lebih baik. Serta
misi – misi yang ikut serta mengembangkan dan memajukan daerah – daerah dan
masyarakat – masyarakat yang terbelakang. Perlunya ada evaluasi dalam
pernyataan politik beliau yang dinilai kurang mengangkat golongan minor di
Indonesia.
Dengan
merujuk pada salah satu teori komunikasi dari Harold Lasswell berupa ungkapan
verbal, yaitu : Who (siapa), Say What (mengatakan apa), In Which Channels
(melalui saluran apa), To Whom (kepada siapa), With What Effect (dengan akibat
apa). Dasar – dasar ini yang perlu diperhatikan oleh seorang politisi termasuk
H.Rhoma Irama. Dalam beberapa kesempatan H.Rhoma Irama dinilai kurang
memperhatikan dasar – dasar tersebut. Sehingga komunikasi yang disampaikan oleh
H.Rhoma Irama sebagai seorang komunikator dinilai kurang maksimal diterima oleh
komunikan.
Dan
pesan politik yang disampaikan oleh seorang politisi juga harus lebih
diperhatikan isinya. Muatan – muatan dalam pesan tersebut harus bias
menciptakan suatu paradigma dalam pokok pikiran komunikan Indonesia sehingga
tercipta opini public yang positif. Bahkan seorang politisi dituntut untuk bias
menghambat atau bahkan menghentikan lajunya propaganda negative yang ditujukan
kepada seorang politisi.
Dengan
pencitraan yang selama ini terbentuk di kalangan masyarakat luas, H.Rhoma Irama
harusnya bias meminimalisir propaganda yang lahir dari saingan politiknya.
Sosok H.Rhoma Irama yang kuat karakternya sebagai musisi sekaligus seorang
pendakwah, haruslah bias menarik simpati dari masyarakat yang cenderung dalam
masa pendewasaan berpolitik. Pernyataan – pernyataan politiknya harus dirubah
menjadi yang lebih nasionalis, artinya dalam hal ini beliau juga harus
mengangkat dan mengedepankan isu – isu dari golongan minoritas yang bias saja
menjadi lumbung suara untuknya pada pemilu yang akan dating.
Adapun
hal lain yang perlu diperhatikan selain daripada pernyataan atau sikap seorang
H.Rhoma Irama yaitu penampilan beliau yang melambangkan atau menginformasikan
bahwasanya sosok beliau mewakili dari kalangan atau golongan tertentu. Sedikit
banyak penampilan seorang politisi mempengaruhi opini public. Misal dari cara
berdandan, gaya rambut, hingga gaya hidup yang melekat dari seorang politisi.
Dalam berbagai teori dikatakan bahwa penampilan bagian dari lambing atau pesan
politik yang tersimpan atau sengaja diinformasikan untuk tujuan – tujuan
politik yang diharapkan.
Dengan
sebuah harapan untuk menjadikan Negara Indonesia ini menjadi lebih baik,
seorang politisi benar – benar harus mengindahkan hal – hal tersebut apabila
beliau H.Rhoma Irama ingin menjadi pemimpin nomer satu di Negara Indonesia ini.
Nilai – nilai keberagaman Indonesia juga harus diindahkan guna menjadikan
Indonesia Negara yang adil, sejahtera, rukun dan demi terciptanya perdamaian
antar masyarakat bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar